Pada tahun 1990-an Dolly memang lebih banyak bermukim di Malang. Setidaknya ia menanggung kehidupan 10 orang.
Awal 1960-an Dolly hijrah ke Kembang Kuning. Inilah komplek pelacuran di Surabaya. Ia kemudian diasuh oleh Tante Beng. Nama terakhir adalah nama mucikari sohor pada masa itu.
Sekitar delapan tahun ia menjadi anak kesayangan Tante Beng. Pada masa-masa itu ia mulai mengumpulkan aset. Pelajaran ngegermo, menurut Dolly juga ia dapatkan dari sang mucikari.
Sekitar tahun 1969 Dolly memutuskan pindah ke kawasan Kupang Gunung. Di sanalah ia membangun rumah, di bekas lahan kuburan cina. Dolly mulai mengusahakan "wisma" – istilah lain untuk rumah bordil. Dari satu wisma, berkembang hingga empat. Ada Istana Remaja, Mamamia, Nirmala, lalu Wisma Tentrem. Setiap wisma menampung sekitar 28 pekerja seks komersial (PSK).
Rumah bordil miliknya, menurut Dolly dibangun tanpa bantuan arsitek atau pemborong. Dolly mengaku memandori sendiri. Sebuah kemampuan yang dipelajari dari orangtuanya.
Jadi, mulai alihprofesi, dari seorang pramusyahwat , eh, PSK, menjadi germo? Dolly menyatakan tidak sepenuhnya benar.
Dolly bilang ia memang sempat menjadi germo, tetapi hanya sebentar saja. Ia lebih memilih untuk menyewakan wisma miliknya ke orang lain. "Aku memang mbangun bordil. Tetapi aku tidak mengelola sendiri. Habis mbangun tak sewakan," kisahnya. "Aku tinggal mengambil uang sewa, wis, enak," tutur Dolly dalam percakapan yang hampir seluruhnya berlangsung dalam dialek Jawa Timuran.
Nah, kok? Kenapa Dolly kurang senang menjadi germo?
"Aku iki nggak mentholo jadi germo. Keluargaku tidak ada yang turunan germo. Anake wong. Kasihan. Kalau jual 'daging' aku pengalaman. Tapi kalau disuruh jadi germo, aku tidak bisa," ujarnya.
Sepanjang tuturannya Dolly bilang ia tidak ingin jadi germo karena tahu bahwa menjadi pelacur itu sungguh tidak enak. "Pelacur itu sakaken. Jadi pelacur itu kasihan. Pelacur itu sengsara di dunia. Akunggak bisa cerita panjang tentang pelacur."
Di mata Dolly, profesi PSK bukanlah dosa. "Aku melihat pelacur itu macam-macam. Ada yang putus cinta, ada yang karena kesulitan ekonomi. Tetapi semua itu tidak dosa. Dia cari makan. Orang lakinya yang datang sendiri."
Lalu seberapa kayakah Dolly dari usaha seperti itu? Ia hanya merinci: setiap 10 hari ia menerima uang Rp 2,1 juta dari satu wisma. Itu terjadi pada tahun 1991. Kurs dollar terhadap rupiah sekitar dua ribu perak.
Uang sewa wisma menurut Dolly tidak besar. "Dan uang itu habis aku bagi-bagikan ke anak-cucuku," jelasnya. "Aku tidak kaya yang miliaran. Tapi aku sugih iman. Sugih kepribadian. Jadi aku tidak kaya, tapi cukup untuk dimakan orang banyak," tegasnya.
"Aku ingin tahu rasanya mengurus orang banyak. Aku pernah diangkat sebagai anak oleh orang, jadi ingin tahu rasanya momong orang banyak. Aku seneng. Aku tidak kaya, tapi cukup untuk makan. Aku bahagia."
Pada tahun 1990-an Dolly memang lebih banyak bermukim di Malang. Setidaknya ia menanggung kehidupan 10 orang. Semuanya sudah diangap anak dan cucu sendiri, termasuk seorang perempuan penderita kanker. Saat itu sudah 10 tahun Dolly merawatnya.
Mungkin karena kedekatannya, banyak orang menduga Dolly adalah lesbian. Dugaan lesbian itu bisa jadi terbentuk karena gaya Dolly yang cenderung tomboi. Apalagi sebagai germo, predikat yang dipakai adalah "papi" bukan "mami". Ya, orang memanggilnya "Papi Dolly".
"Aku tidak lesbian. Aku tidur juga sendiri-sendiri. Aku nolong orang kok dikatakan lesbian," nada suaranya agak gusar.
Anak Dolly ada lima. Di antaranya ada satu anak kandung. Salah satu anak angkatnya adalah anak angkat mantan "mami"-nya, Tante Beng. "Tante Beng itu nggak pernah melahirkan, tetapi ingin punya anak. Begitu mengambil anak kecil. Aku yang ngopeni. Anak itu baik. Mengerti sama orangtua," tuturnya.
Bersama anak dan cucu Dolly merasa bahagia. Ia bahkan menganggap tidak perlu menikah lagi. Sebuah keputusan yang sudah ia niatkan sejak sang suami meninggal.
Dolly hanya ingin merawat—terutama—anak kandungnya. Anak satu-satunya yang ia katakan sebagai tempat curahan kasih sayang.
"Menurut pengalamanku aku tahu banyak lelaki yang kurang ajar. Mungkin karena mereka enggak pernah melahirkan. Dan aku pernah melahirkan. Melahirkan itu susah. Anakku lahir dengan tohpati, ditarik dengan tang."
Ironisnya, pada tahun Dolly diwawancara, ia tengah bersitegang dengan sang anak kandung. Urusannya bahkan menggelinding hingga ke jalur hukum.
Usianya sudah lewat 62 tahun saat itu. Mulai sepuh dan sering batuk. Cuma, dalam kondisi seperti itu, ia masih merokok. Sehari lima bungkus. Bahkan lebih.
Perempuan yang sehari-hari gemar mengenakan kemeja dan kain sarung itu bilang ia akan menjual semua wismanya di Gang Dolly. Uang yang terkumpul akan dijadikan modal usaha di Malang. Usaha apa?
Dolly sendiri agak bingung. Pada tahun 90-an ia sempat berjualan batik, sarung dan seprei yang didatangkan dari Yogya atau Solo. Tetapi nampaknya usaha itu tidak berjalan lancar.
Lebih dari 20 tahun sejak wawancara, kabar dari "Legenda Surabaya" itu nyaris tak terdengar. Kita kembali teringat ketika ribut-ribut penutupan Gang Dolly.
"Ya memang aku yang pertama kali membuka di sana. Tapi waktu mbangun aku bukan germo. Tak bangun lalu tak sewakan. Jadi aku bukan germo. Dan aku heran di Gang Dolly itu yang kaya malah jadi kaya dan enak-enak. Tapi yang jadi sasaran kok aku? Kok namanya jadi Gang Dolly?"
Keinginannya untuk menghapus nama Dolly dari kawasan itu, barangkali sudah didengar. Kini setelah hampir setengah abad berkembang Gang Dolly ditutup.
Ah, Dolly, Advenso Dollyres Chavit. Ia mungkin tak menyangka. Bahwa kisah hidupnya bakal tersangkut kepada nama kawasan prostitusi yang pernah menyandang predikat terbesar di Asia Tenggara.
Daftar Pustaka
1. Eddy Suhardy, Sumber: Majalah Jakarta Jakarta No 270, 31 Agustus 1991
2. http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/06/gang-dolly-dolly-siapa-dia-ii
No comments:
Post a Comment